Kepada Yth Komnas HAM dan DPR RI Kami Mendukung RKUHP tentang Larangan dan Pidana Pelaku LGBT, Perkosaan dan Perzinaan/Kumpul Kebo di Indonesia


Gost

/ #24387

2016-02-10 17:34

MkOleh: Purkon Hidayat* Gendang Politik Budaya Global Pada hari Jumat (26/6), Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) menetapkan pasangan sesama jenis memiliki hak konstitusional untuk menikah di negeri Paman Sam itu. Keputusan tersebut menjadi bola salju yang terus menggelinding kencang berdampak ke seluruh dunia, bahkan hingga Indonesia. Saat ini wacana pernikahan sejenis menjadi sorotan banyak kalangan di Tanah Air. Imbasnya, bak jamur di musim hujan, gerakan dan komunitas sesama jenis muncul ke permukaan, terutama di dunia maya. Jika dilacak sejarahnya, di dunia Barat sendiri pengakuan terhadap pernikahan sesama jenis tidak memiliki sejarah panjang. Resonansi gerakan ini semakin menggema sejak tahun 2001, ketika pemerintah Belanda melegalkan pernikahan sesama jenis. Dua tahun setelahnya, Belgia mengikuti jejak Belanda. Sejak tahun 2005 hingga kini sudah 21 negara yang mengamini kebijakan pernikahan sesama jenis, meski mendapat penentangan keras, terutama dari kalangan gereja dan sebagian masyarakat di negara-negara Barat sendiri. Keputusan tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politisi dan kepentingan politik yang melambarinya. Bahkan pada tahun 2011, perdana menteri Belgia yang terpilih saat itu, Elio de Rupo mengakui dirinya sebagai gay. Kini, ketika Obama mengumumkan pernikahan sejenis diakui oleh hukum AS, dalam waktu kedipan mata berkat kecepatan teknologi informasi berita itu disambut tumpah ruah di seluruh penjuru dunia seolah sebuah kemenangan besar. Di Tanah Air, sebagian kalangan merayakannya dengan gegap-gempita sebagai ikon "kesadaran menghormati sesama, yang mulia dan beradab". Sebaliknya, pihak yang menolak dicibir sebagai orang yang picik, tidak menghargai hak asasi Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Lalu benarkan demikian adanya? Apakah jika bukan datang dari negara adikuasa seperti AS, bisa segencar itu pengaruhnya. Dari sini saja, tepukan gendang politik internasional begitu nyaring terdengar. Tampaknya, masalah ini tidak bisa dilepaskan tendensi kepentingan politik negara-negara Barat dan hegemoni budayanya dalam relasi antarnegara maju vs berkembang maupun terbelakang. Jika dibalik, apakah nilai-nilai timur, termasuk nilai-nilai religius bisa begitu deras diterima oleh Barat dengan penerimaan yang serupa seperti yang terjadi saat ini? Faktanya, dinamika global saat ini menunjukkan pola searah dari negara-negara maju menuju dunia ketiga, termasuk di dalamnya fenomena LGBT. Nature atau Nurture? Pengakuan identitas LGBT dalam bentuk pernikahan sesama jenis yang diakui sejumlah negara saat ini memiliki rangkaian panjang yang rumit, termasuk peran intelektual di dalamnya. Salah satu pendulumnya, statemen American Psychiatric Assosiation (APA) pada tahun 1973 yang menyatakan perilaku homoseksual bukanlah sebuah kelainan, melainkan sebuah orientasi seksual atau pilihan (preference). Sejak itu, homoseksual dihapus dari daftar (diagnostic and statistic manual of mental disorder IV (DSM MD IV). Hingga kini, riset saintifik tentang masalah ini terus dilakukan. Perdebatan panjang pun tidak terelakan, terutama setelah Dean Hamer memublikasikan penelitian tentang gen gay yang terletak di kromosom Xq28. Prokontra muncul kemudian, termasuk bantahan hasil penelitian yang dilakukan George Rice dari Universitas Northwestern yang tidak menjumpai keganjilan pada kromosom Xq 28. Kemudian, A. R. Sanders dan sejawatnya di American Society of Human Genetics melakukan riset “Genome-Wide Linkage Scan of Male Sexual Orientation” di tahun 2012. Populasi penelitian meliputi 409 pasangan independen dari saudara gay yang dianalisis dengan lebih dari 300.000 penanda polimorfisme nukleotida tunggal (SNP). Hasil penelitian yang dipublikasikan November 2014 ini mengambil replikasi temuan Xq 28 Hamer yang menunjukkan variasi genetik mengenai pengembangan sifat psikologis penting dari orientasi seksual gay. Meskipun menyebutkan adanya pengaruh gen terhadap orientasi seksual homoseksual,